Kampus hijau, alias green campus, telah sejak lama menjadi dambaan seluruh warga civitas academica di seluruh dunia. Kampus semacam ini hanya bisa diwujudkan oleh para pimpinan yang berkualitas. Dengan kata lain, kualitas para pimpinan sebuah perguruan tinggi dapat dinilaidaripohon-pohon apa saja yang ditanam di hamparan ruang-ruang kosong kampus yang dipimpinnya. Apakah para pimpinan tersebutterdiri atas orang-orang cerdas yang peduli masa depan, para manajer handal, orang-orang serampangan yang tidak memiliki future orientation, ataukah para snobbish (orang-orang genit yang tidak paham apapun kecuali pada hal-hal yang dangkal)?
Sungguh tidak berdasar jikasebuah kampuslebih memilih menanam pohon “murah-meriah” (misalnya akasia), atau pohon “lucu” (misalnya pohon glodokan, yang sekarang banyak ditanam di berbagai kota—termasuk di kota Jember, yang bentuknya meruncing tinggi tidak berdahan).Secara fisik, pohon-pohon tersebut tidak kontekstual, dan karenanya tidak indah. Akasia lebih cocok untuk area luar kota, dan glodokantidak berkarakter tropis. Secara sosial, pohon akasia tidak mencerminkan sempurnanya keteduhan. Terlebih si pohon runcing glodokan itu, dalam hal keteduhan dan konservasi boleh dibilang antisosial! Secara ekonomi, pohon-pohon itu tidak memberi inspirasi produktif. Nenek moyang kita lebih suka menanam mahoni, yang memiliki kualitas kayu handal dan buahnya bisa untuk obat, atau pohon asam, yang daun mudanya bisa digunakan untuk jamu sinom dan manfaat buahnya tidak bisa diragukan lagi.
Apakah pohon-pohon yang ditanam di Unej sudah mencerminkanblue print tatakelola kampusvyang berkualitas bagi civitas academica-nya, yang berorientasi pada citizen welfare?