
Keistimewaan puisi yang juga ditanamkan dalam susunan antologi kali ini mentasbihkan kalau the ungrammaticality menjadi sistem yang memancing kepekaan literer pembaca. Pengecualian-pengecualian akan penggunaan bahasa dan tata bahasanya berserakan dalam puisi-puisi yang hadir di awal buku ini, kemudian dimodelkan dalam kehadiran tiga cerita pendek di bagian akhir. Bukan kebetulan tentunya, tapi kesengajaan bermakna. Puisi dan prosa ada pada genre berbeda, tetapi bahasa puisi dalam prosa bukan sebongkah dosa, melainkan kreasi, ekspresi. Demikian pula cerita pendek dalam kumpulan puisi, Gerimis di Mata Kekasih menjadi perekat thematik antar karya dan antar genre.
Dialektika antara karya dan pembaca yang punya pengalaman dan pengetahuan berbeda-beda dalam rangka menangkap makna menjadikan karya sastra hadir dalam hidup, kaya makna dan terus bisa dibaca kembali serta dimaknai kembali sebagai dokumen. Puisi akan terus hidup ketika dimaknai oleh para pembaca. Di kesempatan kali ini, teman-teman muda yang tergabung di salah satu Unit Kegiatan Mahasiswa Fakultas Sastra, Dewan Kesenian Kampus, untuk kedua kalinya ‘bergerak’ mendokumentasikan karya mereka melalui sebuah antologi puisi dan cerpen yang bertajuk “Gerimis di Mata Kekasih”.
Kekasih memang tidak pernah usang menginspirasi, entah gerimis, badai, senja, bahkan pekat malam di matanya menjadi benih imajinasi mereka yang berkarya. Harapan saya, antologi kali ini menjadi ladang subur bertumbuhnya benih kreatifitas bagi kelahiran antologi-antologi berikutnya.