Bahasa puisi tidak sama dengan penggunaan bahasa biasa, begitu Riffaterre membuka bukunya Semiotics of Poetry, dan begitu pula saya ingin mengawali ide saya setelah membaca draf Antologi puisi penulis-penulis muda difakultas Sastra Universitas Jember ini. Makna dari puisi ada bukan pada apa yang dinyakan, tetapi sesuatu yang ada di balik yang terkatakan. Maka itu puisi sering kali sulit dipahami pembacanya dalam sekali baca. Ketidaklangsungan semantik dengan displacing, distorting, dan creating yang didalilkan Riffaterre tentang ‘kebiasaan’ puisi ini juga dimainkan dengan apik dalam antologi kali ini. Sebut saja Lampu Merah oleh AF. Kelemayar untuk bicara tanda, atau Alif dalam Alif di antara Alphabet oleh Harja el Majnun yang ambigu dan maknanya berlarian dalam tiap baris yang membawanya, kocar-kacir dalam dimensi lexikal-thematik, visual dan ritmik-akustinya hingga kemudian lesap pada titik di bagian akhir puisi adalah menegaskan sifat permainan puisi. Memahami permainan puisi sama saja dengan mengejar makna.Sering kali juga penitikberatan pada butir “permainan” dalam puisi untuk menyembunyikan ‘yang sebenarnya’ menggiring penulisan puisi untuk selalu menggunakan kata-kata yang tidak biasa muncul dalam percakapan sehari-hari atau peminjaman kata lintas register yang justru memusingkan pembacanya. Celakanya ketika demikian sering ditinggalkan pembaca yang sekedar ingin menikmati puisi, bukan peneliti, sehingga puisi tersebut gagal berbicara pada pembacanya. Seperti halnya penggunaan kata ‘bioma’ pada puisi ‘Bioma di matamu’. Kata tersebut terdengar unik di telinga, tapi sayangnya dimensi lexikal-thematik tak berketerangan ini butuh paman Google untuk menerangkan pada saya guna tahu artinya.Namun puisi tersebut tidak gagal memberi petunjuk perihal sejarah register diksi tersebut pada / berburu plankton, karang hidup, barangkali paus/ sebagai istilah biologi.
Keistimewaan puisi yang juga ditanamkan dalam susunan antologi kali ini mentasbihkan kalau the ungrammaticality menjadi sistem yang memancing kepekaan literer pembaca. Pengecualian-pengecualian akan penggunaan bahasa dan tata bahasanya berserakan dalam puisi-puisi yang hadir di awal buku ini, kemudian dimodelkan dalam kehadiran tiga cerita pendek di bagian akhir. Bukan kebetulan tentunya, tapi kesengajaan bermakna. Puisi dan prosa ada pada genre berbeda, tetapi bahasa puisi dalam prosa bukan sebongkah dosa, melainkan kreasi, ekspresi. Demikian pula cerita pendek dalam kumpulan puisi, Gerimis di Mata Kekasih menjadi perekat thematik antar karya dan antar genre.
Dialektika antara karya dan pembaca yang punya pengalaman dan pengetahuan berbeda-beda dalam rangka menangkap makna menjadikan karya sastra hadir dalam hidup, kaya makna dan terus bisa dibaca kembali serta dimaknai kembali sebagai dokumen. Puisi akan terus hidup ketika dimaknai oleh para pembaca. Di kesempatan kali ini, teman-teman muda yang tergabung di salah satu Unit Kegiatan Mahasiswa Fakultas Sastra, Dewan Kesenian Kampus, untuk kedua kalinya ‘bergerak’ mendokumentasikan karya mereka melalui sebuah antologi puisi dan cerpen yang bertajuk “Gerimis di Mata Kekasih”.
Kekasih memang tidak pernah usang menginspirasi, entah gerimis, badai, senja, bahkan pekat malam di matanya menjadi benih imajinasi mereka yang berkarya. Harapan saya, antologi kali ini menjadi ladang subur bertumbuhnya benih kreatifitas bagi kelahiran antologi-antologi berikutnya.